Terlelap dalam Kesuksesan Versi Sendiri

Teringat masa kecil, saat terjun bebas ke kali deras. Berenang melawan arus, hanya sebatas menguji nyali dan cerdik diri. Tapi andai saja ibu tahu, bisa dimarahi aku.

Teringat masa remaja, saat kupacari banyak gadis jelita. Kutebarkan pesona diri, sebatas menunjukkan eksistensi sebagai lalaki sejati. Andai saja ayah tahu, bisa diceramahi aku.

Teringat saat awal kutanggalkan status mahasiswaku, saat dimana kubunuh mental manjaku. Lalu kutumbuhkan mental wirausahawan tangguh, dengan menjadi pedagang kaki lima, di tepi jalan kota.

Teringat saat kegagalan usaha menghampiri, lalu akhirnya kukirimkan jua lamaran kerja. Lalu aku ditegur ayah, saat memilih sahabat ketimbang karir. Aku keluar kerja demi solidaritas, atas nama persahabatan sejati.

Teringat saat-saat aku semakin sering berjumpa dengan kepura-puraan dan kebohongan. Lalu aku menoleh beberapa sahabatku telah menaggalkan prinsipnya. Aku masih bertahan, setidaknya untuk saat ini.

Lalu kulihat papan impian, kutemukan hampir separuhnya terealisasi, hanya satu yang meleset, setidaknya untuk saat ini. Dan aku baru sadari, bahwa satu hal yang meleset ini, ternyata membuat pasangan pecinta tak tenang jiwa.

“Duhai ayah dan bunda, maafkan ananda. Ananda memang terlalu egois, asyik dalam penggapaian kesuksesan versi sendiri. Ananda janji, kan kutepati tahun ini, insyaallah.”

(Ini adalah postingan ke-100, tepat di usia 6 bulan blogku. Meski blog baruku tak seramai blog yang dulu, tapi 3.676 komentar yang terdampar, cukup menghiburku. Terima kasih sahabat, atas kesediaannya menyapaku di sini.)